sejarah singkat bapak ki hajar dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun
Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan
hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java,
De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)
pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka
berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda.
Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat
tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda)
dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat
kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa
hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah
tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun
dihukum buang ke Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri
Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah
terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda
sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia
kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah keseriusannya
mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin
menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional
bagi bangsa Indonesia. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah
mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta,
untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa
karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat
semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai
seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan
Arsip Nasional.